Sabtu, 26 Januari 2008

Upaya menangkal praktik penghindaran pajak

Mahasiswa Advanced Master in European and International Tax Law di Tilburg University Belanda dan KU Leuven Belgia & LL.M in International Tax Law dari Wirtschafts Universitat, Vienna Australia
Kontroversi tentang 750 perusahaan penanaman modal asing (PMA) tidak membayar pajak karena rugi selama lima tahun berturut-turut, seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan terdahulu, Jusuf Anwar, menimbulkan beragam tanggapan baik dari DPR, pelaku bisnis, pengamat bahkan dari institusi pemerintah sendiri yaitu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Terlepas dari berbagai komentar tersebut, dilihat dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global mereka dengan cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) atau mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran pajak.
Berkaitan dengan kontroversi tersebut diatas, pertanyaannya adalah apakah ketentuan perpajakan Indonesia sudah cukup memadai untuk menangkal praktik penghindaran pajak tersebut?
Menurut journal of Commerce (November 1997:3A) seperti dikutip oleh Czinkota dan Ronkainen (2001:563) menyatakan bahwa sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, perdagangan internasional juga berkembang dengan pesat, demikian pula perdagangan antara perusahaan dalam satu grup.
Oleh karena berhubungan dengan jumlah ekspor dan impor barang dalam jumlah yang besar yang dapat mempengaruhi jumlah pajak yang terutang, tentu saja transaksi tersebut dapat menimbulkan konflik antara pihak fiskus dan wajib pajak.
Penghindaran vs penyelundupan
Dalam buku-buku perpajakan Indonesia, penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal (misalnya meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan).
Permasalahnnya adalah apakah penghindaran pajak selalu legal? Menurut Roy Rohatgi (2002:342), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance).
Artinya, penghindaran pajak dapat saja dikategorikan sebagai kegiatan legal dan dapat juga dikategorikan sebagai kegitan ilegal. Suatu penghindaran pajak dikatakan ilegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose).
Oleh karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, sebagaian besar negara telah mempunyai ketentuan anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan Michael J. Mclntyre, 2002:81).
Penghindaran Pajak
Dalam buku-buku perpajakan internasional, praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional pada umumnya dilakukan dengan cara (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization. (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).
Transfer Pricing biasanya dilakukan dengan cara memperbesar harga beli dan memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan mentransfer laba yang diperoleh kepada grup perusahaan yang berkedudukan di negara yang menerapkan tarif pajak yang rendah.
Sedangkan thin capitalization dilakukan melalui pemberian pinjaman oleh perusahaan induk kepada anak perusahaannya yang berkedudukan di negara lain. Di mana perusahaan induk lebih suka memberikan dana kepada anak perusahaannya dengan cara pemberian pinjaman daripada dalam bentuk setoran modal.
Alasannya, biaya bunga (biaya yang timbul atas pinjaman) dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak anak perusahaan. Sedangkan deviden (biaya yang berkaitan dengan modal) tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Adapun treaty shopping dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas tax treaty suatu negara oleh perusahaan yang tidak berhak atas fasilitas treaty tersebut.
Terakhir, praktik penghindaran juga dilakukan dengan cara menunda pengakuan penghasilan modal yang bersumber di luar negeri (biasanya di negara tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri, praktik ini dalam istilah perpajakan dikenal controlled foreign corporation (CFC).
Di Indonesia, ketentuan anti penghindaran pajak diatur dalam Pasal 18 UU PPh, akan tetapi tidak diatur secara ketat seperti yang diterapkan di banyak negara. Sebagai contoh, dalam ketentuan perpajakan Indonesia tidak ada pembatasan perbandingan antara modal dan utang (Debt Equity Ratio) untuk mencegah pembebanan biaya bunga yang tidak wajar, dan juga belum ada prosedur rinci tentang Advance Pricing Agreement (APA) yang bisa diterima oleh pihak fiskus maupun Wajib Pajak sebagai jalan tengah untuk memecahkan kebuntuan pemeriksaan transaksi transfer pricing yang begitu rumit dan memerlukan waktu yang lama.
Oleh karena ketiadaan sebagaian aturan tentang anti penghindaran pajak dalam ketentuan perpajakan Indonesia, tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mereka
Senin, 31 Januari 2000 Perkembangan Restrukturisasi Kredit Macet Grup Dharmala (Bagian I) Grup yang Banyak Melakukan Transaksi Antarperusahaan GRUP Dharmala merupakan obligor terbesar ke-13 Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dengan pokok kredit macet yang dialihkan ke BPPN mencapai Rp 2,6 trilyun. Grup Dharmala adalah kelompok usaha milik Keluarga Gondokusumo. Banyaknya transaksi antarperusahaan dalam Grup Dharmala menyebabkan rumitnya penyelesaian kredit macet kelompok usaha tersebut. Kredit macet Grup Dharmala yang ditangani BPPN berasal dari 29 perusahaan-tujuh perusahaan di antaranya sudah tidak beroperasi. Keluarga Gon-dokusumo adalah juga pemilik Grup Putra Surya Perkasa (PSP) yang menduduki posisi obligor terbesar kelima BPPN dengan kredit macet Rp 5,1 trilyun.
Kredit macet perusahaan-perusahaan Grup Dharmala yang ditangani BPPN adalah kredit macet dari PT Dharmala Inti Utama (Ultimate Holding Company), yang terdiri atas PT Musco Sakti, PT Deemte Sakti Indo, dan PT Dharmala Realindo; PT Dharmala Sakti Sejahtera Tbk dengan anak-anak perusahaan PT Dharmala Sejahtera Finance dan PT BBL Dharmala Finance; serta PT Dharmala Intiland dengan anak-anak perusahaan PT Taman Harapan Indah, PT Dharmala Land, PT Sinar Puspa Persada, PT Graha Family View, PT Grand Interwisata, PT Dharmasejahtera Sakti.
Selanjutnya, PT Dharmala Agrifood dengan anak-anak perusahaan PT Dharmala Agrindo dan PT Arthacitra Terpadu Feedmill; PT Dharmindo Adhiduta dengan anak-anak perusahaan PT Mekasindo Dharma International dan PT Jaindo Metal Industry; serta PT Aster Dharma Industries dengan anak perusahaan PT Dharmala Sakti Elektronik.
Sementara itu, kredit macet perusahaan Grup Dharmala yang sudah tidak beroperasi atau telah melakukan self liquidation (melikuidasi diri) berasal dari DeMat Investment (China) Co Ltd, PT Dharmala, PT Palembang Jaya, PT Dharmala Lampung, PT Mansur Ekspor Impor, PT Muara Alas Prima, dan PT Probolinggo Pelletizing.
Selain banyak terjadi transaksi antaranak perusahaan, BPPN menilai Grup Dharmala banyak melakukan kecurangan, antara lain sebagian kredit digunakan untuk membeli saham anak perusahaan pada saat anak perusahaan itu melakukan right issue dan saham baru yang diterbitkan tidak dapat diserap oleh pasar. Antaranak perusahaan dan antarperusahan yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan Grup Dharmala sering kali saling memberikan corporate guarantee. Grup Dharmala juga dinilai kerap terlambat dalam melakukan penugasan akuntan independen, advisor, dan penilai aset (appraisal). Di samping itu, dalam struktur organisasi Grup Dharmala kerap terdapat perangkapan jabatan, di mana orang yang sama memegang posisi penting pada beberapa perusahaan. Hal itu menyebabkan pengambilan keputusan menjadi lebih sulit, karena adanya benturan kepentingan antarperusahaan.
Grup Dharmala dianggap tidak terbuka dalam memberikan informasi, terutama tentang perusahaan yang disinyalir masih mempunyai aset yang tidak dijaminkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, BPPN telah meminta debitor menunjuk auditor independen guna melakukan due diligence (pemeriksaan menyeluruh dan mendalam dari berbagai aspek).
***
PT Dharmala Inti Utama
PT Dharmala Inti Utama (PT DIU) merupakan ultimate holding company Grup Dharmala dengan kepemilikan PT Dharmala Realindo sebesar 43 persen, PT Gondo Atmaja Perkasa (secara tidak langsung dimiliki Keluarga Gondokusumo) 34 persen, PT Deemte Sakti Indo 21 persen, dan lainnya dua persen. PT DIU berdiri pada 1989 dan manajemen dipegang oleh Suyanto Gondokusumo sebagai Presiden Direktur.
PT DIU merupakan holding company yang mempunyai aktivitas treasury untuk kepentingan anak-anak perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, properti, agrobisnis, alat berat dan bahan bangunan, serta elektronik dan pengepakan. Pinjaman-pinjaman yang dialihkan ke BPPN mencapai Rp 298 milyar dan 22 juta dollar AS, atau total setara Rp 452,54 milyar (dengan kurs Rp 7.000 per dollar AS).
Jaminan yang diajukan antara lain jaminan perusahaan masing-masing dari PT DIU, PT Seemte Sakti Indo, PT Dharmala Realindo, PT Dharmala Sakti Sejahtera, 10 juta lembar saham PT Aster Dharma Industri, serta jaminan pribadi Suyanto G dan Suhargo G.
Sebelum terjadi krisis moneter, beberapa anak perusahaan PT DIU yakni Bank Dharmala dan BBL Dharmala Finance (sektor keuangan), PT Arthacitra Terpadu (sektor agrobisnis), dan PT Taman Harapan Indah (sektor properti) telah memperoleh sertifikat ISO 9002.
Macetnya PT DIU disebabkan beberapa hal, yaitu besarnya pinjaman dalam mata uang dollar AS (sekitar 287 juta dollar AS) dan yen (sekitar 16 juta yen), di mana tidak dilakukan hedging (lindung nilai) secara memadai, sementara sebagian besar pendapatan perusahaan berbentuk rupiah.
Krisis ekonomi yang berpengaruh negatif terhadap kinerja anak-anak perusahaan PT DIU juga membuat anak-anak perusahaan tersebut tidak dapat memberikan pendapatan yang mencukupi kepada PT DIU.
Dampak negatif krisis ekonomi pada beberapa anak perusahaan adalah ditutupnya Bank Dharmala, Maret 1999, PT Dharmala Agrifood dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung pada April 1999, PT Aster Dharma Industri diputuskan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Agustus 1999. Selain itu, anak perusahaan PT ADI yaitu Detron Singapura diajukan pailit oleh kreditornya di Singapura, sedangkan PT Deemte Sakti Indo yang merupakan parent company PT DIU diputuskan pailit pada Oktober 1999 dan saat ini sedang mengajukan peninjauan kembali ke MA.
Penyebab lain adalah adanya mismanagement dalam intercompany transaction (transaksi antaranak perusahaan dan pihak terkait), di mana utang intercompany lebih besar daripada piutangnya dan tidak dapat tertagih. Sebagai akibat dari kekurang hati-hatian tersebut, dengan depresiasi rupiah terhadap dollar AS, kewajiban debitor menjadi bertambah besar dan tidak dapat terbayarkan.
Pada 1 Juli 1999, PT DIU telah menandatangani letter of commitment/LoC (surat sanggup) restrukturisasi kredit. Hambatan utama yang ditemui dalam proses restrukturisasi PT DIU adalah lambatnya penunjukkan financial advisor. BPPN telah menunjuk CIBA sebagai financial advisor pada 7 September 1999, tetapi sampai saat ini due diligence atas PT DIU belum juga dimulai, karena terdapat permasalahan yang berkaitan dengan cakupan perusahaan yang akan diaudit dan fee yang harus dibayarkan.
Guna mendapatkan gambaran yang lengkap atas kondisi holding company, BPPN meminta agar due diligence dilakukan untuk PT DIU dan holding termasuk Dharmala Realindo, Musco Sakti dan Deemte. Namun, PT DIU menyatakan fee yang harus dibayarkan tidak mungkin dibagi proposional antara perusahaan-perusahaan itu, karena Deemte sudah dipailitkan.
Sampai saat ini, CIBA telah mengajukan proposal untuk melakukan due diligence atas PT DIU, Dharmala Realindo dan Musco Sakti, tanpa Deemte. Untuk masalah fee, sedang dilakukan finalisasi negosiasi antara debitor dan CIBA paling lambat 31 Januari 2000. Apabila batas waktu tersebut terlewati, status debitor akan diturunkan ke klasifikasi debitor nonkooperatif.
PT Musco Sakti
PT Musco Sakti didirikan pada Mei 1990 dan merupakan salah satu holding company yang ada dalam Grup Dharmala. Kegiatan utama Musco adalah investasi pada anak perusahaan. Investasi mencolok pada anak perusahaan adalah investasi pada PT Deemte Sakti Indo dengan jumlah kepemilikan sebesar 79,68 persen, dan pada Dharma-la Realindo dengan jumlah kepemilikan 1,32 persen.
Musco dimiliki oleh PT Gondo Atmaja Perkasa (77,41 persen) dan PT Hastawidjojo Perdana (16,13 persen), Henry Chandra (1,26 persen), Thomas Chandra (0,95 persen), Tjeng Tjoe Kian (0,62 persen), Wirjanto Wangsawinata (2,32 persen), Herman Wijaya (0,37 persen), Arifin Wijaya (0,78 persen), dan Wim Soerjadhi (0,16 persen).
Karena Musco bukanlah operating company dan hanya merupakan holding company, pinjaman yang diperoleh terutama disalurkan kepada anak perusahaan. Dengan demikian penyelesaian kewajiban Musco sangat bergantung pada kemampuan anak perusahaan untuk mengembalikan pinjaman dan memberikan dividen kepada holding company.
Namun demikian, krisis ekonomi telah menyebabkan turunnya kemampuan keuangan anak perusahaan dalam mengembalikan pinjaman kepada holding, lebih-lebih memberikan dividen. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan Musco tidak dapat mengembalikan pinjaman kepada kreditornya.
Pinjaman Musco yang dialihkan kepada BPPN mencapai Rp 12,25 milyar dengan jaminan berupa piutang serta jaminan perusahaan dari PT Dharmala Realindo dan PT Deemte Sakti Indo.
Saat ini debitor sedang menyelesaikan LoC. Sekitar 93 persen pemegang saham bersedia menandatangani LoC, sisanya tidak bersedia. BPPN akan melakukan evaluasi guna menentukan kelayakan dari Musco. Jika ternyata Musco tidak layak serta ada pemegang saham yang tidak bersedia menandatangani LoC, Musco akan diklasifikasikan sebagai debitor nonkooperatif. (fey)